1.
Pengertian Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan
terhadap anak adalah segala tindakan baik yang disengaja maupun tidak disengaja
yang dapat merusak anak baik berupa
serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi
manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Pengetian kekerasan
terhadap beberapa ahli yaitu
·
Menurut Sutanto, kekerasan anak adalah perlakuan orang
dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya
terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari
orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan,
cacat/kematian.
·
Menurut
Patilima, kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orangtua.
Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan
terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh
kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental Kekerasan pada
anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah ‘Semua bentuk perlakuan
menyakitkan baik secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial/eksploitasi lain yang mengakibatkan cedera
atau kerugian nyata maupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan
hidup anak, tumbuh kembang anak atau mertabat anak yang dilakukan dalam konteks
hubungan tanggung jawab kepercayaan atau kekuasaan.
·
Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik
dan kekuasaan,ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang ataumasyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak.
2.1.2 Faktor- faktor
yang mendorong timbulnya kekerasan terhadap anak
Beberapa faktor
memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas Perlindungan Anak pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi
diantaranya:
a.
Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance)Banyak
anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa
mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian,perilaku
kekerasan diwarisi (transmitted)
dari generasi ke generasi
b.
Stres Sosial (social
stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial
meningkatkan risiko kekerasanterhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial
ini mencakup: pengangguran(unemployment),
penyakit (illness), kondisi
perumahan buruk (poor housing
conditions),ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayibaru (the presence of a new baby), orang
cacat (disabled person) di
rumah, dan kematian(the death) seorang
anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakankekerasan
terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan.
Tindakankekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan
kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin
karena beberapa alasan.
c.
Isolasi Sosial
dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan
tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit
sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi
masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau
kerabat.
d.
Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang
meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak.
Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan
terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga
di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting,
seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana
mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan
terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri
sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
1.2.3 Bentuk- bentuk kekerasan terhadap
anak
a. Kekerasan secara Fisik (physical
abuse)
kekerasan
fisik (Physical abuse) adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan
terhadap anak,dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa
lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan,
cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin
panas atau berpola akibat sundutan rokok atausetrika. Lokasi luka biasanya
ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada,perut, punggung atau
daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisikumumnya dipicu
oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anaknakal atau
rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarangtempat,
memecahkn barang berharga.
b. Kekerasan Emosional (emotional
abuse)
Emotional
abuse terjadi
ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah
mengetahui anaknya meminta
perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu
sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia
boleh jadi mengabaikan kebutuhan
anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan
mengingat semua kekerasan emosional
jika kekerasan emosional itu berlangsung
konsisten. Orang tua yang secara
emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerusmelakukan hal sama
sepanjang kehidupan anak itu.
c. Kekerasan
secara Verbal (verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal
dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun
kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli,
atau juga mengkambinghitamkan.
d. Kekerasan Seksual (sexual abuse)
Sexual
abuse meliputi
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya
dijelaskan bahwa sexual abuse adalah
setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan
seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
e. Kekerasan
Anak Secara Sosial
Kekerasan secara sosial dapat
mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan
perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses
tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau
tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak
menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak
yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan
hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan
perkembangan fisik, psikisnya dan
status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang
membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa
peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau
dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
1.2.4 Upaya
menanggulangi kekerasan terhadap anak
Beberapa upaya yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak yaitu:
a. Pendidikan dan Pengetahuan
Orang Tua Yang Cukup
Tindakan kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh
terhadap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu,
perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih
tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya
kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
b. Keluarga Yang Hangat Dan
Demokratis
Dalam sebuah
study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak
acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami
penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang
orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan
menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan
tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan
diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami
kenaikan sekitar 8 point. Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 %
dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ),
berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil
penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen
dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak
teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat.
c. Membangun Komunikasi Yang
Efektif
Kunci
persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi
yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping
(stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses
akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Untuk menghindari
kekerasan terhadap anak maka diperlukan anggota keluarga yang saling berinteraksi dengan komunikasi yang
efektif
d. Mengintegrasikan isuh hak anak
kedalam peraturan perundang- undangan, kebijakan,program dan kegiatan sampai
dengan penganggaran sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi sehingga menjadi responsive terhadap hak anak.
1.2.5
Undang- undang yang mengatur perlindungan anak
Sebagai Negara hukum, Indonesia memiliki beberapa
peraturan perundang- undangan yang mengatur perlindungan anak yang terdiri
dari:
·
Undang-
undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
Pasal 2
Penyelenggaraan
perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi
Hak-Hak Anak.
Pasal 3
Perlindungan
anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia, dan sejahtera.
Pasal 4
Setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak
berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak
berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1)
Setiap anak
berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri.
(2)
Dalam hal
karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau
anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat
sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak
berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1)
Setiap anak
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2)
Selain hak
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang
cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang
memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak
berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11
Setiap anak
berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak
yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1)
Setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan.
(2)
Dalam hal
orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak
berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau
aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
·
Undang- undang nomor 11 tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak
·
Peraturan presiden nomor 18 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan pemberdayaan
anak dan perempuan dalam konflik sosial
Sumber:
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia,http://www.kpai.go
Abu, Huraerah. 2006. Kekerasan Terhadap Anak Jakarta : Nuansa,Emmy.
Soekresno. 2007. Mengenali Dan Mencegah Terjadinya TindakKekerasan Terhadap Anak.
UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17453/node/20/uu-no-23-tahun-2002-perlindungan-anak
1 komentar:
ijin copas coy
Posting Komentar