Senin, 04 Januari 2016

Pelanggaran HAM Kekerasan Terhadap Anak

Diposting oleh Unknown di 05.29


1.   Pengertian Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak adalah segala tindakan baik yang disengaja maupun tidak disengaja yang dapat merusak anak  baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Pengetian kekerasan terhadap beberapa ahli yaitu
·         Menurut Sutanto, kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian.
·         Menurut  Patilima, kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental Kekerasan pada anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah ‘Semua bentuk perlakuan menyakitkan baik secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial/eksploitasi lain yang mengakibatkan cedera atau kerugian nyata maupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau mertabat anak yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab kepercayaan atau kekuasaan.
·         Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang ataumasyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.


2.1.2     Faktor- faktor  yang mendorong timbulnya kekerasan terhadap anak
Beberapa  faktor  memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas Perlindungan Anak  pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya:
a.       Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance)Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian,perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi
b.      Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasanterhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran(unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions),ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayibaru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian(the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakankekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakankekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
c.        Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.
d.      Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.

1.2.3  Bentuk- bentuk kekerasan terhadap anak
a. Kekerasan secara Fisik (physical abuse)
kekerasan fisik (Physical abuse) adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak,dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atausetrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada,perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisikumumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anaknakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarangtempat, memecahkn barang berharga.

b. Kekerasan Emosional (emotional abuse)
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia
boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan
mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung
konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerusmelakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.

c. Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.

d. Kekerasan Seksual (sexual abuse)
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
e. Kekerasan Anak Secara Sosial
Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan
perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau
dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

1.2.4  Upaya menanggulangi kekerasan terhadap anak
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak yaitu:
a.   Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Tindakan  kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
b.   Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point. Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat.
c.   Membangun Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Untuk menghindari kekerasan terhadap anak maka diperlukan anggota keluarga yang  saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif
d.   Mengintegrasikan isuh hak anak kedalam peraturan perundang- undangan, kebijakan,program dan kegiatan sampai dengan penganggaran sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan  evaluasi sehingga  menjadi responsive terhadap hak anak.

  1.2.5  Undang- undang yang mengatur perlindungan anak
Sebagai Negara hukum, Indonesia memiliki beberapa peraturan perundang- undangan yang mengatur perlindungan anak yang terdiri dari:
·          Undang- undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak.
Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1)            Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2)            Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1)            Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2)            Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1)            Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan.
(2)            Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

·         Undang- undang nomor 11 tahun 2012 tentang  system peradilan pidana anak
·         Peraturan presiden nomor 18 tahun 2014  tentang perlindungan anak dan pemberdayaan anak dan perempuan dalam konflik sosial 

Sumber:

Komisi Perlindungan Anak Indonesia,http://www.kpai.go
Abu, Huraerah. 2006. Kekerasan Terhadap Anak  Jakarta : Nuansa,Emmy.
Soekresno.  2007. Mengenali Dan Mencegah Terjadinya TindakKekerasan Terhadap Anak.
UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak 
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17453/node/20/uu-no-23-tahun-2002-perlindungan-anak

1 komentar:

Wasis huda kurniadi on 24 Desember 2016 pukul 15.10 mengatakan...

ijin copas coy

Posting Komentar

 

Nita Novita Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos