Rabu, 20 April 2016

Surat Perjanjian Hutang Piutang

Diposting oleh Unknown di 08.03 1 komentar


SURAT PERJANJIAN HUTANG PIUTANG


Pada hari ini, Selasa 3 Oktober 2012, kami yang bertanda tangan di bawah ini setuju mengadakan Perjanjian Utang Piutang yaitu
:
Nama               : Nita Novita Sari
Pekerjaan         : Karyawan Swasta
Alamat            : Jl. Putri Tunggal No. 07, Cimanggis Depok
No KTP           : 00116117816
Untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.

Nama               : Andra Bintang Apriliana
Pekerjaan         : Karyawan Swasta
Alamat            : Jl. Sumur Bandung  No. 44, Cimanggis Depok
No KTP           : 00161122120
Untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.

Maka melalui surat perjanjian ini disetujui oleh Kedua Belah Pihak ketentuan-ketentuan sebagaimana tercantum di bawah ini:
1.      Bahwa pada 3 Oktober 2012, PIHAK PERTAMA telah mengajukan Hutang sebesar Rp. 60.000.000,-(enam puluh juta rupiah) kepada PIHAK KEDUA.

2.      Bahwa atas pengajuan PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA telah menyetujui untuk meminjamkan uang tunai sebesar Rp. 60.000.000,-(enam puluh juta rupiah) kepada PIHAK PERTAMA pada 22 Agustus 2012.

3.      PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah sepakat bahwa pembayaran Hutang oleh PIHAK PERTAMA dilakukan dengan cicilan PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA sebanyak Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah) setiap bulan, selama 12 bulan, yang dimulai pada bulan November, 2012 dan berakhir pada Oktober 2013.

4.      Perjanjian hutang piutang ini dibuat rangkap dua, bermeterai cukup yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dan berlaku sejak ditandatangani oleh Para Pihak.

5.      Mengenai hal-hal yang belum dituangkan dalam perjanjian ini, akan diatur kemudian dengan addendum-addendum baru sesuai kesepakatan para pihak.

Demikianlah surat perjanjian utang-piutang ini dibuat dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan untuk dijadikan sebagai pegangan hukum bagi masing-masing pihak.

 

Surat Perjanjian dan Perikatan

Diposting oleh Unknown di 07.53 0 komentar


PENGERTIAN PERIKATAN (PERJANJIAN)
Perkataan “perikatan “ (verbintenis) mempunyai arti mempunyai arti yang luas dari perkataan  “perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan.
Perikatan ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.  Suatu perjanjian juga dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan yang mengikat 2 orang atau mungkin lebih mengenai suatu urusan. Namun untuk sesuatu yang bisa dibilang serius dan tidak ingin menimbulkan sengketa(masalah) dikemudian, baiknya surat perjanjian dibuat secara tulisan. Pengertian surat perjanjian adalah surat kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling mengikatkan diri untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian bisa di lakukan oleh antar Negara, antara 2 perusahaan di Negara berbeda, dua perusahaan di dalam satu Negara. Pribadi dengan pibadi juga sering melakukan perjanjian akan banyak hal. Sebenarnya dalam tatanan yang sangat sederhana pun kita sering melakukan perjanjian. Seperti kita pinjam uang 100 ribu rupiah kepada temanpun sudah bisa di kategorikan sebagai perjanjian.
Memang benar dalam kasus meminjam uang seratus puluh ribu tadi tidak di buat surat perjanjian hitam di atas putih tapi kata yang terucap dari dua orang sahabat tadi di mana menyebutkan berapa jumlah uang yang di pinjam dan kapan uang akan di kembalikan merupakan sebuath contoh perjanjian di mana kedua belah pihak harus saling memenuhi apa yang telah di janjikan. Di sini dapat di artikan bahwa perjanjian yang di ucapkan dan tanpa bentuk tertulispun di anggap penjanjian yang sah.

SYARAT SYAH TIDAKNYA SUATU SURAT PENJANJIAN
Di dalam undang undang hukum perdata di sebutkan bahwa suatu perjanjian di anggap sah bila memenuhi empat unsure. Empat unsure yang membuat suatu perjanjian itu sah atau tidak adalah sebagai berikut.
a.    Agreement: terjadinya kesepakatan untuk mengikat diri.
b.   Capacity: adalah kecakapan dari semua fihak untuk membuat suatu perjanjian.
c.    Certein of term: adanya ketentuan dari suatu perjanjian.
d.   Legality: hal hal yang di perjanjikan tidaklah melanggar hukum dan halal.

MACAM – MACAM PERIKATAN
A.      Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian demikian, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan.

B.      PERIKATAN YANG DIGANTUNGKAN PADA SUATU KETETAPAN WAKTU (TIJDSBEPALING)
Perbedaan antara suatu syarat dengan ketetapan waktu adalah yang pertama  berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu, banyak sekali dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.

C.      PERIKATAN YANG MEMBOLEHKAN MEMILIH (ALTERNATIEF).
Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.

D.      PERIKATAN TANGGUNG-MENANGGUNG (HOOFDEUJK ATAU
SOUDAIR).
Suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.
Beberapa orang yang bersama-sama menghadapi satu orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat oituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu merabayar, maka pembayaran ini juga membebaskan semua teman-teman yang berhutang. Itulah yang dimaksudkan suatu perikatan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua orang A dan B secara tanggung-menanggung berhutang Rp. 100.000,- kepada C, maka A dan B masing-masing dapat dituntut membayar Rp. 100.000,-.
Memang dari sudut si berpiutang, perikatan semacam ini telah diciptakan untuk menjamin piutangnya, karena jika satu orang tidak suka atau tidak mampu membayar hutangnya, ia selalu dapat meminta pembayaran dari yang lainnya.Perikatan tanggung-menanggung, lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Bagaimana juga, perikatan semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam, ia selalu harus diperjanjikan dengan tegas (uitdrukkelijk). Tetapi ada kalanya juga perikatan tanggung-menanggung itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya dalam B.W. mengenai beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima penyuruhan (lastgeving) dari beberapa orang. Dalam W.V.K., mengenai suatu perseroan firma, di mana menurut undang-undang masing-masing pesero bertanggung jawab sepenuhnya untuk seluruh hutang firma, atau mengenai suatu wesel, di mana semua orang yang secara berturut-turut telah mengendosirnya, masing-masing menanggung pembayaran hutang wesel itu untuk seluruhnya, jika penagihan kepada si berhutang menemui kegagalan.
E.       PERIKATAN YANG DAPAT DIBAGI DAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI.
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
Pada asasnya - jika tidak diperjanjikan lain - antara pihak-pihak yang semula suatu perikatan, tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian.
F.    PERIKATAN DENGAN PENETAPAN HUKUMAN (STRAFBEDING).
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman, apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.
SAAT DAN LAHIRNYA PERJANJIAN
 Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
 
Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang adanya suatu persesuain kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah dilahirkan suatu perjanjian. Dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak itu berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat menyurat dan telegram (kawat) dalam menyelenggarakan urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa ditinggalkan. Sebab, sudah sering terjadi, bahwa apa yang ditulis dalam surat, atau yang diberitahukan lewat telegram, karena sesuatu kesalahan, berlainan atau berbeda dari apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan surat menyurat atau telegram tadi. Berhubungan dengan kesulitan-kesulitan yang timbul itu, orang mulai mengalihkan perhatiannya pada apa yang dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi kehendak, tetapi apa yang dinyatakan oleh seorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain. Jadi, apabila ada suatu perselisihan antara apa yang dinyatakan oleh suatu pihak, maka pernyataan itulah yang menentukan. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah tercapai apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Dalam menerima atau menangkap suatu pernyataan diperlukan suatu pengetahuan tentang istilah-istilah yang lazim dipakai dalam sesuatu kalangan, di suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu. Suatu contoh: kalau sekarang (dalam tahun 1963) seorang menawarkan mobilnya dengan menyebut harga "satu setengah'" maka setiap orang harus mengerti bahwa yang dimaksudkan itu adalah satu setengah juta dan bukannya satu setengah ribu. Suatu pernyataan yang dikeluarkan (diucapkan) secara bersenda gurau tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar bagi suatu perjanjian. Lagi pula, apabila suatu pernyataan nyata-nyata atau mungkin sekali keliru, juga tidak boleh kita memegangnya bagi pembentukan suatu sepakat yang kita jadikan sebagai dasar bagi suatau perjanjian yang mengikat. Misalnya, si pemilik mobil tersebut di atas memasang suatu iklan dan disitu secara keliru ditulisakn satu setengah ribu (yang dimaksudkan satu setengah juta). Setiap orang yang berpikiran sehat harus mengerti bahwa dalam iklan tersebut tentu ada suatu kekeliruan atau orang yang memasang iklan tersebut adalah orang yang tidak sehat pikirannya. Bagaimanapun, pernyataan yang dipasang dalam iklan tadi menimbulkan kesangsian tentang kebenarannya. Teranglah bahwa kita tidak boleh menerima penawaran tersebut dan berdasarkan jual beli yang telah tercipta menuntut penyerahan mobil tersebut dengan pembayaran harga yang ditulis dalam iklan itu. Tetapi, seandainya ditulis satu seperempat juta, maka iklan tadi tidak akan menimbulkan kesangsian. Mungkin para pembaca iklan menganggap harga itu agak murah, tetapi belum termasuk hal yang aneh.

 PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1.       perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang.
2.       perjanjian untuk berbuat sesuatu.
3.       perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar-hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orangtua atau wali nya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah. Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subyektifnya yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya, Misalnya, seorang yang oleh Undang-Undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tanggung-jawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau, seorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum. Juga adanya kekurangan mengenai syarat subyektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila dimajukan pada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subyektif, oleh Undang-Undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembaialan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau, seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan di bawah surat perjanjian, maka itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuannya sedangkan yang dipersoalkan disini adalah orang yang memberikan persetujuan (perijinan), tetapi secara tidak bebas, sepertinya seorang yang memberikan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam itu harus suatu perbuatan yang terlarang, kalau yang diancam itu suatu tindakan yang memang diijinkan oleh undang-undang misalnya ancaman akan digugat di muka hakim, akan tidak dapat dikatakan tentang suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai sebagai mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan penipuan yang hanya dapat dilakukan oleh pihak lawan.

SUMBER:



 

Nita Novita Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos