Sejarah Prakolonial Indonesia
Pada masa sebelum kekuatan Eropa Barat mampu menguasai
daratan dan perairan Asia Tenggara, belum ada Indonesia. Nusantara yang
sekarang kita kenal sebagai Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan tanah yang
dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kekaisaran, kadang hidup berdampingan
dengan damai sementara di lain waktu berada pada kondisi berperang satu sama
lain. Nusantara yang luas tersebut kurang memiliki rasa persatuan sosial dan
politik yang dimiliki Indonesia saat ini. Meskipun demikian, jaringan perdagangan
terpadu telah berkembang di wilayah ini terhitung sejak awal permulaan sejarah
Asia. Terhubung ke jaringan perdagangan merupakan aset penting bagi sebuah
kerajaan untuk mendapatkan kekayaan dan komoditas, yang diperlukan untuk
menjadi kekuatan besar. Tapi semakin menjadi global jaringan perdagangan ini di
nusantara, semakin banyak pengaruh asing berhasil masuk; suatu perkembangan
yang akhirnya akan mengarah pada kondisi penjajahan.
Keberadaan sumber-sumber tertulis adalah yang memisahkan masa
sejarah dari masa prasejarah. Karena sedikitnya sumber-sumber tertulis yang
berasal dari masa sebelum tahun 500 Masehi, sejarah Indonesia dimulai agak
terlambat. Diduga sebagian besar tulisan dibuat pada bahan yang mudah rusak dan
- ditambah dengan iklim tropis lembab dan standar teknik konservasi yang
berkualitas rendah pada saat itu - ini berarti bahwa sejarawan harus bergantung
pada inskripsi/prasasti di atas batu dan studi sisa-sisa candi kuno untuk
menelusuri sejarah paling terdahulu nusantara. Kedua pendekatan ini memberikan
informasi mengenai struktur politik tua karena baik sastra maupun pembangunan
candi adalah contoh budaya tinggi yang diperuntukkan bagi elit penguasa.
Sejarah Indonesia memiliki ciri sangat khas, yaitu umumnya
berpusat di bagian barat Nusantara (khususnya di pulau Sumatera dan Jawa).
Karena sebagian besar bagian timur Nusantara memiliki sedikit kegiatan ekonomi
sepanjang sejarah (terletak jauh dari jalur perdagangan utama), hal itu
menyebabkan sedikitnya kegiatan politik; suatu situasi yang berlanjut hingga
hari ini.
Sistem Monopoli VOC
VOC berusaha menguasai salah satu
pelabuhan penting, yang akan dijadikan pusat VOC. Untuk keperluan tersebut ia
mengincar kota Jayakarta. Ketika itu Jayakarta di bawah kekuasaan Kerajaan
Islam Banten. Sultan Banten mengangkat Pangeran Wijayakrama sebagai adipati di
Jayakarta. Monopoli perdagangan VOC di Indonesia mula-mula VOC mendapat izin
dari Pangeran Wijayakrama untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Tetapi
ketika gubernur jenderal dijabat oleh J.P. Coen, Pangeran Wijayakrama
diserangnya. Kota Jayakarta direbut dan dibakar. Kemudian di atas reruntuhan
kota Jayakarta, J.P. Coen membangun sebuah kota baru. Kota baru itu diberinya
nama Batavia. Peristiwa tersebut pada tahun 1619. Kota Batavia itulah yang kemudian
menjadi pusat VOC. Setelah memiliki sebuah kota sebagai pusatnya, maka
kedudukan VOC makin kuat. Usaha untuk menguasai kerajaan-kerajaan dan
pelabuhan-pelabuhan penting ditingkatkan. Cara melakukannya dengan politik
dividi et impera atau politik mengadu domba. Mengadu dombakan sesama bangsa
Indonesia atau antara satu kerajaan dengan kerajaan lain. Tujuannya agar
kerajaan-kerajaan di Indonesia menjadi lemah, sehingga mudah dikuasainya. VOC
juga sering ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan kerajaan-kerajaan di
Indonesia. Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, ia memaksakan monopoli,
terutama di Maluku. Dalam usahanya melaksanakan monopoli, VOC menetapkan
beberapa peraturan, yaitu sebagai berikut :
1. Rakyat Maluku dilarang menjual rempah-rempah selain kepada
VOC.
2. Jumlah tanaman rempah-rempah ditentukan oleh VOC.
3. Tempat menanam rempah-rempah juga ditentukan oleh VOC.
Agar pelaksanaan monopoli tersebut
benar-benar ditaati oleh rakyat, VOC mengadakan Pelayaran Hongi. Pelayaran
Hongi ialah patroli dengan perahu kora-kora, yang dilengkapi dengan senjata,
untuk mengawasi pelaksanaan monopoli di Maluku. Bila terjadi pelanggaran
terhadap peraturan tersebut di atas, maka pelanggarnya dijatuhi hukuman. Hukuman
terhadap para pelanggar peraturan monopoli disebut ekstirpasi. Hukuman itu
berupa pembinasaan tanaman rempah-rempah milik petani yang melanggar monopoli,
dan pemiliknya disiksa atau bisa-bisa dibunuh. Bukan main kejamnya tindakan VOC
waktu itu. Akibatnya penderitaan rakyat memuncak. Puluhan ribu batang tanaman
pala dan cengkih dibinasakan. Ribuan rakyat disiksa, dibunuh atau dijadikan
budak. Ribuan pula rakyat yang melarikan diri meninggalkan kampung halamannya,
karena ngeri melihat kekejaman Belanda. Tidak sedikit yang meninggal di hutan
atau gunung karena kelaparan. Tanah milik rakyat yang ditinggalkan, oleh VOC
dibagi-bagikan kepada pegawainya. Karena kekejaman tersebut maka timbulah
perlawanan di berbagai daerah.
Sistem Tanam Paksa
Cultuurstelsel (harafiah: Sistem
Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budi Daya)
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem
monopoli. Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah
terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal
Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup
defisit anggaran pemerintah penjajahan. Sistem tanam paksa berangkat dari
asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang
biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang
bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya
untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa
untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.Dengan mengikuti
tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan
desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang
mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut
mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun
1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya
berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau,
sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu,
yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan. Bagi
pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena
antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya
hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari
30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an,
72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia
Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya,
membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda
pun mengalami surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel
Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Akibat tanam
paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada
tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga
melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah
mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada
tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai
1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam
UU Agraria 187
Sistem Ekonomi Liberal
Kapitalis
1.
Pengertian.
Sistem ekonomi liberal kapitalis
adalah sitem ekonomi yang aset-aset produktif dan faktor-faktor produksinya
sebagian besar dimiliki oleh sektor individu/swasta. Sementara tujuan utama
kegiatan produksi adalah menjual untuk memperoleh laba. Sistem
perekonomian/tata ekonomi liberal kapitalis merupakan sistem perekonomian yang
memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan
perekonomian seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan
lain sebagainya.
Dalam perekonomian liberal kapitalis setiap warga dapat mengatur
nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam
bisnis untuk memperoleh laba sebesar- besarnya dan bebas melakukan kompetisi
untuk memenangkan persaingan bebas.
2.
Ciri-ciri.
Ciri-ciri dari sistem ekonomi liberal
kapitalis antara lain :
a. Masyarakat diberi
kebebasan dalam memiliki sumber-sumber produksi.
b. Pemerintah tidak
ikut campur tangan secara langsung dalam kegiatan ekonomi.
c. Masyarakat
terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan
masyarakat pekerja (buruh).
d. Timbul persaingan
dalam masyarakat, terutama dalam mencari keuntungan.
e. Kegiatan selalu
mempertimbangkan keadaan pasar.
f. Pasar merupakan
dasar setiap tindakan ekonom.
g. Biasanya
barang-barang produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.
3. Keuntungan dan
Kelemahan.
Sistem ekonomi liberal kapitalis selain memilki keuntungan
juga mempunyai kelemahan, antara lain :
a. Keuntungan :
1) Menumbuhkan
inisiatif dan kerasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak
perlu lagi menunggu perintah dari pemerintah.
2) Setiap individu
bebas memiliki untuk sumber-sumber daya produksi, yang nantinya akan mendorong
partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
3) Timbul
persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
4) Mengahsilkan
barang-barang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat antar
masyarakat.
5) Efisiensi dan
efektifitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi didasarkan motif mencari
keuntungan.
b. Kelemahan :
1) Terjadinya persaingan
bebas yang tidak sehat.
2) Masyarakat yang
kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
3) Banyak terjadinya
monopoli masyarakat.
4) Banyak
terjadinya gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi sumber daya oleh individu.
5) Pemerataan
pendapatan sulit dilakukan, karena persaingan bebas tersebut.
Sistem ekonomi liberal kapitalis lebih bersifat memberikan
kebabasan kepada individu/swasta dalam menguasai sumber daya yang bermuara pada
kepentingan masing-masing individu untuk mendapatkan keuntungan pribadi
sebesar-besarnya. Hal tersebut tidak terlepas dari berkembangnya paham
individualisme dan rasionalisme pada zaman kelahiran kembali kebudayaan Eropa
(renaisance) pada sekitar abad pertengahan (abad ke-XVI). Yang dimaksud dengan
kelahiran kembali kebudayaan Eropa adalah pertemuan kembali dengan filsafat
Yunani yang dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan modern setelah
berlangsungnya Perang Salib pada abad XII – XV. Cepat diterimanya kebudayaan
Yunani oleh ilmuwan Eropa tidak terlepas dari suasana masa itu, dimana Gereja
mempunyai kekuasaan yang dominan sehingga berhak memutuskan sesuatu itu benar
atau salah. Hal tersebut mendorong para ilmuwan untuk mencari alternatif diluar
Gereja. Dalam hal ini filsafat Yunani yang mengajarkan bahwa rasio merupakan
otoritas tertinggi dalam menentukan kebenaran, sangat cocok dengan kebutuhan
ilmuwan Eropa waktu itu.
Pengaruh gerakan reformasi terus bergulir, sehingga mendorong
munculnya gerakan pencerahan (enlightenment) yang mencakup pembaruan ilmu
pengetahuan, termasuk perbaikan ekonomi yang dimulai sekitar abad XVII-XVIII.
Salah satu hasilnya adalah masyarakat liberal kapitalis. Namun gerakan
pencerahan tersebut juga membawa dampak negatif. Munculnya semangat liberal
kapitalis membawa dampak negatif yang mencapai puncaknya pada abad ke-XIX,
antara lain eksploitasi buruh, dan penguasaan kekuatan ekonomi oleh individu.
Kondisi ini yang mendorong dilakukannya koreksi lanjutan terhadap sistem
politik dan ekonomi, misalnya pembagian kekuasaan, diberlakukannya undang-undang
anti monopoli, dan hak buruh untuk mendapatkan tunjangan dan mendirikan serikat
buruh.
Era Pendudukan Jepang
Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942
dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Pada Mei 1940,
awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Jerman Nazi. Hindia Belanda
mengumumkan keadaan siaga dan pada Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke
Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk
mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal pada Juni 1941, dan Jepang
memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Pada bulan yang
sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi
terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang
pada Maret 1942. Pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat
bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang
tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan,
mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan
hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran
Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk persiapan
kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau 独立準備調査会 (Dokuritsu junbi chōsa-kai?) dalam
bahasa Jepang. Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan
dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI yang bertugas menyiapkan
kemerdekaan.
Cita –cita Ekonomi Merdeka
Perekonomian global sedang anjlok.
Namun, pada saat bersamaan, perekonomian Indonesia justru tumbuh. Memasuki
tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi 6,5 persen. Lalu, juga
pada tahun 2013 mendatang, PDB Indonesia
diperkirakan 1 Triliun USD. Gara-gara angka-angka tersebut, banyak orang terkesima
dengan performa ekonomi Indonesia. Banyak yang mengira, dengan pertumbuhan
ekonomi sepesat itu, bangsa Indonesia sudah sejahtera. Lembaga rentenir
Internasional, IMF (Dana Moneter Internasional), turut terkesima dan
memuja-muja pertumbuhan itu. Namun, fakta lain juga sangat mencengankan. Indeks
Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa
tahun terakhir. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat
kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal, pada tahun 2005, gini
rasio Indonesia masih 0,33. Data lain juga menunjukkan, kekayaan 40 orang
terkaya Indonesia mencapai Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan
10,33% PDB. Konon, nilai kekayaan dari 40 ribu orang itu setara dengan kekayaan
60% penduduk atau 140 juta orang. Data lain menyebutkan, 50 persen kekayaan
ekonomi Indonesia hanya dikuasai oleh 50 orang.
Ringkas cerita, pertumbuhan ekonomi
yang spektakuler itu tidak mencerminkan kesejahteraan rakyat. Yang terjadi,
sebagian besar aset dan pendapat ekonomi hanya dinikmati segelintir orang.
Sementara mayoritas rakyat tidak punya aset dan akses terhadap sumber daya
ekonomi. Akhirnya, terjadilah fenomena: 1% warga negara makin makmur, sementara
99% warga negara hidup pas-pasan. Akhirnya, kita patut bertanya, apakah
pembangunan ekonomi semacam itu yang menjadi cita-cita kita berbangsa? Silahkan
memeriksa cita-cita perekonomian kita ketika para pendiri bangsa sedang
merancang berdirinya negara Republik Indonesia ini.
Bung Hatta pernah berkata, “dalam
suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya dan tanahnya subur,
semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia Merdeka tak ada
gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat. “Kemerdekaan nasional
tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk sebagai biduanda dari
kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung Hatta di New York, AS, tahun
1960). Karena itu, para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta,
kemudian merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis
besar cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi
kolonial dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan
makmur. Artinya, dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita
tidak menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan
penumpukan kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas
rakyat. Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh
rakyat.
Supaya cita-cita perekonomian itu
tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka para pendiri bangsa sepakat
memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita: Pasal 33 UUD 1945. Dengan
demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama bagi pelaksanaan politik
perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia. Dalam pasal 33 UUD 1945,
ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama itu bisa
tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat aktif dan
efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomi
terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni
pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme). Dan
keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi, termasuk
pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun, sejak orde baru hingga
sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur), proses penyelenggaran negara
sangat jauh politik perekonomian ala pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru,
sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh kapital asing melalui kelompok
ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu, pada masa pasca reformasi ini,
sistem perekonomian kebanyakan didikte secara langsung oleh lembaga-lembaga
asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya, cita-cita perekonomian sesuai
amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa
ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya, yang ditandai oleh menguatnya
dominasi kapital asing, politik upah murah, ketergantungan pada impor, dan
kecanduan mengekspor bahan mentah ke negeri-negeri kapitalis maju. Ketimpangan
ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik.
Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan
jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara
lain.
Ekonomi Indonesia
setiap Periode Pemerintah
1. Pemerintahan Orde Lama
Sejak berdirinya negara Republik
Indonesia, banyak sudah tokok-tokoh negara saat itu telah merumuskan bentuk
perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun
diskusi kelompok. Sebagai contoh, Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya
mencetuskan ide, bahwa dasar perekonomian Indonesia yang sesuai dengan
cita-cita tolong menolong adalah koperasi, namun bukan berarti semua kegiatan
ekonomi harus dilakukan secara koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi
Indonesia saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika tahun
1949, menegaskan bahwa yang dicita-citakan adalah semacam ekonomi campuran.
Namun demikian dalam proses perkembangan berikutnya disepakatilah suatu bentuk
ekonomi yang baru, dinamakan sebagai Sistem Ekonomi Pancasila, yang didalamnya
mengandung unsur pentinga yang disebut Demokrasi Ekonomi.
Terlepas dari sejarah yang akan
menceritakan yang akan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi di
Indonesia, maka menurut UUD’45, sistem perekonomian Indonesia tercermin dalam
pasal-pasal 23, 27, 33. Dan 34.
Demokrasi Ekonomi dipilih, karena
mempunyai ciri-ciri positif yang diantaranya adalah (Suroso, 1993) :
- Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara.
- Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- Sumber-sumber kekayaan dan keuangan
negara digunakan dengan pemufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat, serta
pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga-lembaga perwakilan pula.
- Warga negara memiliki kebebasan
dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan
penghidupan yang layak.
- Hak milik perorangan diakui dan
pemanfaatnnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
- Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap
warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan
kepentingan umum.
- Fakir miskin serta anak terlantar, dipelihara
oleh pemerintah.
Sistem perekonomian di Indonesia
sangat menentang adanya sistem Free Fight Liberalism, Etatisme (Ekonomi
Komando) dan Monopoli, karena sistem ini memang tidak sesuai dengan sitem
ekonomi yang dianut Indonesia (bertentangan).
Free fight liberalism : Sistem
kebebasan usaha yang tidak terkendali, sistem ini dianggap tidak cocok dengan
kebudayaan Indonesia dan berlawanan dengan semangat gotong-royong yang
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33, dan dapat mengakibatkan semakin besarnya
jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin.
Etatisme : Suatu paham dalam
pemikiran politik yang menjadikan negarasebagai pusat segala kekuasaan. Negara
adalah sumbu yang menggerakkan seluruh elemen politik dalam suatu jalinan
rasional, yang dikontrol secara ketat dengan menggunakan instrumen kekuasaan.
Keikutsertaan pemerintah yang terlalu dominan juga dapat mematikan motivasi dan
kreasi dari masyarakat untuk dapat berkembang dan bersaing sehat.
Monopoli : suatu bentuk pemusatan
ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga tidak memberikan pilihan lain
pada konsumen untuk tidak mengikuti keinginan sang monopoli.
Meskipun pada awal perkembangan
perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi pancasila, ekonomi Demokrasi,
dan ‘mungkin campuran’, namun bukan berarti sistem perekonomian liberalis dan
etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia. Awal tahun1950-an sampai dengan
tahun 1957-an merupakan bukti sejarah adanya corak liberalis dalam perekonomian
Indonesia. Demikian juga dengan sistem etatisme, pernah juga memberi corak perekonomian di tahun 1960-an sampai dengan
pada masa orde baru.
2. Pemerintahan Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagai masa
pemerintahan Presiden Soeharto. Orde Baru menggantikan pemerintahan Orde Lama
yang di pimpin oleh Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga
1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal
ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu,
kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik
Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik
kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan
1998. Politik Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia
politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam
negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.Salah satu
kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September1966 mengumumkan bahwa Indonesia
"bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali
pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima
pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik
garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di
Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang
terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan
menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang
dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian
dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Presiden Soeharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi
militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak
berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan
militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan
aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang
adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada
Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Selama masa pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada
tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga keturunan Tionghoa juga
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang
secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas china indonesia
terutama dari komunitas pengobatan china tradisional karena pelarangan sama
sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis
dengan bahasa mandarin. Mereka pergi hingga ke Makhamah Agung dan akhirnya
Jaksa Agung indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa china
indonesia bejanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia. Untuk keberhasilan ini kita mesti memberi penghormatan
bagi Ikatan Naturopatis Indonesia ( I.N.I ) yang anggota dan pengurus nya pada
waktu itu memperjuangkan hal ini demi masyarakat china indonesia dan kesehatan
rakyat indonesia. Hingga china indonesia mempunyai sedikit kebebasan dalam
menggunakan bahasa Mandarin.
Satu-satunya surat kabar berbahasa
Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang china indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa
warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme
di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde
Baru
* Perkembangan GDP per kapita
Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih
dari AS$1.000
* Sukses transmigrasi
* Sukses KB
* Sukses memerangi buta huruf
* Sukses swasembada pangan
* Pengangguran minimum
* Sukses REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun)\
* Sukses Gerakan Wajib Belajar
* Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua
Asuh
* Sukses keamanan dalam negeri
* Investor asing mau menanamkan modal
di Indonesia
* Sukses menumbuhkan rasa
nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde
Baru
§
Semaraknya korupsi, kolusi dan nepotisme
§
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian lagi disebabkan karena kekayaan
daerah sebagian besar disedot ke pusat.
§
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan
terutama di Aceh dan Papua.
§
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertannya.
§
Bertambahnya kesenjangan sosial diakibatkan karena perbedaan pendapatan
yang tidak merata bagi yang kaya dan yang miskin.
§
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat
Tionghoa).
§
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan.
§
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah
yang dibredel.
Pada pertengahan 1997, Indonesia
diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis
finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak,
gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang
awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah
gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei
1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto
kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden
ketiga Indonesia.
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan
Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi
ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda
Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan
rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok
menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh
mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan
reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12
Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat
mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat
mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin
Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai
“Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto
berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi.
Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU
Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU
Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk
karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya
penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya
pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk
kemudian digantikan "Era Reformasi".
3.
Pemerintahan Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Sidang Istimewa
MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang
demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota
lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang
menewaskan 18 orang.
Masa pemerintahan Habibie ditandai
dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu
dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan
pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil
prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri
Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie
menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman
Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada
era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik,
tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan
menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta
pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan
karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang oleh
Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan,
kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
Ketika Habibie mengganti Soeharto
sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus
dihadapinya, yaitu:
a. masa depan Reformasi;
b. masa depan ABRI;
c. masa depan daerah-daerah yang
ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d. masa depan Soeharto, keluarganya,
kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e. masa depan perekonomian dan
kesejahteraan rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang
berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi
dari masyarakat.
a.
Kebijakan
dalam bidang politik
Reformasi
dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru
dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga
undang-undang tersebut.
1. UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai
politik
2. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum.
3. UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan
Kedudukan DPR/MPR.
b.
Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang
terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat,
serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c.
Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam
masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya
partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa
menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan
dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi
dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha
Penerbitan (SIUP).
d.
Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie,
berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden
yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan
lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha
Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah
Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur.
Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah
pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas
rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari
Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh
dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama
Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
Contoh Soal:
1. Ketika kota Jayakarta direbut dan dibakar.
Kemudian di atas reruntuhan kota Jayakarta, J.P. Coen membangun sebuah kota baru. Kota baru
itu diberinya nama Batavia. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun…
a. tahun
1619*
b. tahun 1618
c. tahun 1620 d. tahun 1617
e. tahun 1621
2. Tujuan utama sistem tanam paksa
adalah…
a. mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong,
atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan*
b. Mencari rempah- rempah
c. Menjajah Indonesia
d. Ingin mempekerjakan rakyat Indonesia dengan
upah yang minimum
e. Ingin menjadikan penduduk Indonesia
yang memiliki keahlian dalam bidang pertanian
3. -Masyarakat
diberi kebebasan dalam memiliki sumber-sumber produksi.
- Pemerintah tidak ikut campur tangan secara
langsung dalam kegiatan ekonomi.
-Masyarakat
terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan
masyarakat pekerja (buruh).
- Timbul persaingan dalam masyarakat,
terutama dalam mencari keuntungan.
Ciri-ciri
diatas adalah citi dari system…
a. System sosialisme
b. System kapitalisme*
c. System demokrasi
d. System orde baru
e. System orde lama
4. Orde Baru adalah sebutan bagai masa
pemerintahan Presiden Soeharto. Orde Baru menggantikan pemerintahan Orde Lama
yang di pimpin oleh Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun…
a. 1967 hingga 2000.
b. 1970 hingga 1998.
c. 1969 hingga 2000.
d. 1968 hingga 1998.*
e. 1966 hingga 1998.
5. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya…
a. Orde lama
b. Orde baru
c. Era reformasi*
d. Kapitaslisme
e. Sosialisme
Referensi:
0 komentar:
Posting Komentar