2.1.1
Teori Keagenan
Teori agensi
berasumsi bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri.
Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil dari
keuangan yang bertambah atau investasi mereka. Salah satu hipotesis dalam teori
ini adalah bahwa manajemen dalam mengelolah perusahaan cenderung mementingkan kepentingan pribadi daripada
meningkatkan nilai perusahaannya, maka terjadilah konflik kepentingan. Contoh
nyata yang terjadi dalam kegiatan perusahaan karena disebabkan pihak agensi
memiliki informasi keuangan yang baik daripada pihak prinsipal, sedangkan pihak
prinsipal diperbolehkan memanfaatkan kepentingan pribadi karena memiliki
keunggulan kekuasaan. Adanya perbedaan kepentingan membuat masing-masing pihak
berusaha memperbaiki dan mendapatkan keuntungan yang sebsar-besarnya bagi diri
sendiri. Principal menginginkan pengembalian yang besar dan secepatnya atas
investasi salah satu telah dicerminkan dengan kenaikan porsi deviden dari tiap
saham yang dimiliki.
Konsep corporate governance didasarkan pada teori keagenan. Pandangan
teori keagenan dimana terdapat pemisahan antara pihak agen dan prinsipal yang
mengakibatkan muncul potensi konflik dalam mempengaruhi kualitas laba yang akan
dilaporkan. Pihak manajemen yang mempunyai kepentingan tertentu akan cenderung
menyusun laporan laba yang sesuai dengan tujuannya dan bukan untuk kepentingan
prinsipal. Dalam kondisi ini diperlukan suatu pengendalian yang dapat
mensejajarkan perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak (Boediono, 2005).
Mekanisme corporate governance memiliki kemampuan dengan berkaitan untuk
menghasilkan suatu laporan keuangan yang memiliki kandungan informasi laba.
2.1.2 Signaling Theory
Signaling theory tidak dapat dipisahkan dengan asimetri informasi.
Dalam kerangka asimetri informasi yang terjadi antara agen dan principal telah mengungkapkan
bahwa tanda dari perusahaan merupakan hal yang harus diperhatikan agar
perusahaan berhasil mempertahankan dan memperoleh sumber daya ekonomi (Ross
1973). Secara politis, perusahaan berupaya memberikan informasi sebaik mungkin
untuk memdapatkan tanggapan positif dari pemegang otoritas pemerintahan bahwa
perusahaan telah memindahkan asset mereka melalui retribusi, mekanisme pajak
dan social responsibility lainnya. Menurut hipotesis
signaling, hal tersebut dapat memotivasi manajer untuk melakukan corporate
disclosure (Watt dan Zimmerman 1986). Perusahaan termotivasi untuk memberikan
sinyal positif kepada semua pihak untuk meningkatkan harga saham maupun
kredibilitas (Wild et al. 2003). Bahkan Wild et al. (2003) lebih dahulu mengemukakan
kecenderungan atas motivasi manajer dalam melakukan voluntary disclosure,
adalah dalam mengatur berbagai harapan, baik dari investor maupun pemerintah.
2.1.3 Teori Stakeholder
Menurut Freeman
(1998) yang dikutip dari Riyadi (2008), Stakeholder
adalah kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari kerugian
yang hak-haknya dilanggar atau dihargai oleh tindakan korporasi.Yang termasuk stakeholder adalah para pemegang saham
itu sendiri, para kreditor, pekerja atau buruh, pelanggan, pemasok, dan
masyarakat pada umumnya. Teori Stakeholder
menekankan bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial yang dituntut harus
mempertimbangkan semua kepentingan dengan berbagai macam pihak yang terkena
pengaruh dari tindakannya. Teori stakeholder
mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk
kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya. Gray (1994:53) mengatakan bahwa Kelangsungan hidup
perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus
dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut.
Makin powerful, makin besar usaha perusahaan beradaptasi. Pengungkapan sosial
dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya. Maka pengungkapan sosial
dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholder nya.
Menurut Wheeler dan Sillanpa’a’ (1997), stakeholder dibagi menjadi dua, yaitu:
(1) primary stakeholder dan (2) secondary stakeholder. Primary stakeholder
merupakan pihak yang memiliki hak penguasaan langsung dari barang - barang yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan perusahaannya. Sedangkan secondary stakeholder
merupakan pihak yang tidak langsung menyediakan barang - barang yang dibutuhkan
perusahaan, akan tetapi mempunyai pengaruh yang bermanfaat dibandingkan pihak -
pihak yang berkepentingan (Pratama, 2013). Sebagai contoh nyata adalah
pemerintah sebagai primary stakeholder sedangkan masyarakat sebagai secondary stakeholder.
2.1.4
Pengungkapan Lingkungan
Darrough (1993) dalam Binsar H.
Simanjuntak dan Lusi Widiastuti (2004) mengemukakan ada dua jenis pengungkapan
dalam hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan standar, yaitu
pengungkapan wajib (mandatory disclosure)
dan pengungkapan sukarela (voluntary
disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan minimum yang disyaratkan
oleh standar akuntansi yang berlaku. Sedangkan pengungkapan sukarela merupakan
pilihan bebas manajeman perusahaan untuk memberi informasi akuntansi dan
informasi lainnya yang dipandang relevan untuk keputusan oleh para pemakai
laporan keuangan tersebut. Menurut peraturan mengenai laporan keuangan yang ada
di Indonesia hal semacam ini dimungkinkan. Salah satu contoh dari pengungkapan
sukarela adalah pengungkapan lingkungan.
Informasi yang terdapat pada
pengungkapan lingkungan yaitu seperti diskusi regulasi dan persyaratan dampak
lingkungan, kebijakan lingkungan atau kepedulian perusahaan terhadap
lingkungan, konservasi sumber daya alam, penghargaan atas kepedulian terhadap
lingkungan, usaha melakukan daur ulang, pengeluaran yang dilakukan perusahaan
berkaitan dengan penanganan lingkungan, aspek hukum atas kasus berkaitan dengan
dampak lingkungan yang disebabkan perusahaan (Wiseman, 1982). Walaupun
pengungkapan lingkungan di dalam laporan tahunan masih bersifat voluntary atau sukarela, pada saat ini
pelaporan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia telah
menjadi kewajiban bagi perseroan terbatas untuk mengungkapkannya. Berdasarkan
deskripsi diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan tidak dapat lepas dari
adanya konflik sosial yang timbul, maka saat ini banyak terdapat perusahaan
yang semakin menerapkan dan memperhatikan Corporate
Social Responsibility (CSR) yang termasuk di dalamnya ialah environmental
disclosure (pengungkapan lingkungan).
2.1.5 Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Menurut
Zadex, 1998; dalam Sulistyowati, 2004, tujuan perusahaan mengungkapkan tanggung
jawab sosial adalah:
1. Untuk memahami apakah perusahaan telah mencoba
mencapai kinerja sosial terbaik sesuai dengan yang diharapkan.
2. Untuk mengetahui apa yang dilakukan perusahaan dalam
meningkatkan kinerja sosial.
3. Untuk memahami implikasi dari apa yang dilakukan
perusahaan tersebut.
4. Untuk memahami apakah praktik yang dilakukan
perusahaan untuk meningkatkan kinerja tidak merugikan kinerja bisnisnya.
Sedangkan
menurut Gray, Owen, dan Maunders (1988) dalam Sulistyowati (2004), tujuan
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan adalah:
1. Untuk meningkatkan image perusahaan.
2. Untuk meningkatkan akuntabilitas suatu organisasi,
dengan asumsi bahwa terdapat kontrak sosial antara organisasi dengan
masyarakat.
3. Untuk memberikan informasi kepada investor.
2.1.6 Good Corporate Governance
Istilah Corporate Governance itu
sendiri untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee di tahun 1992 yang
menggunakan istilah dalam laporan mereka yang kemudian dikenal sebagai Cadbury
Report. Menurut Komite Cadbury, Good
Corporate Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan
dalam memberikan pertanggung - jawabannya kepada para pemegang saham khususnya,
dan stakeholders pada umumnya. Esensi corporate
governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui sepervisi atau
pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap
shareholders dan pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan
peraturan yang berlaku (Gunarsih, 2003). Untuk meningkatkan akuntabilitas,
antara lain diperlukan auditor, komite audit, serta remunerasi eksekutif. GCG
memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif
sehingga tercipta mekanismechecks and balances di perusahaan. Seberapa jauh
perusahaan memperhatikan prinsip - prinsip dasar GCG telah semakin menjadi
faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama hubungan antara
praktik corporate governance dengan karakter investasi internasional. Karakter
investasi ini ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana
melalui ‘pool of investors’ di
seluruh dunia.
2.1.7 Manajemen Laba
Manajemen hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan adanya
manajemen yang baik maka akan memudahkan terwujudnya tujuan dari suatu
perusahaan. Dengan manajemen pula daya guna dan hasil guna unsur - unsur
manajemen dapat ditingkatkan. Adapun unsur - unsur manajemen itu terdiri dari: man, money, method, machines, materials, dan
markets, yang biasa disingkat dengan 6 M. Manajemen berasal dari kata to
manage yang artinya mengatur.
Menurut akuntansi yang dimaksud
dengan laba adalah Perbedaan antara pendapatan (revenue) dengan yang direalisasi yang timbul dari transaksi pada
periode tertentu dihadapkan dengan beban yang dikeluarkan pada periode tertentu
tersebut. Pengertian laba menurut Soemarso (2002 : 277), yaitu merupakan
selisih lebih antara pendapatan dan pengeluaran, atau suatu kelebihan
pendapatan yang diterima oleh perusahaan sesudah dikurangi pengormanan yang dikeluarkan,
yang merupakan kenaikkan bersih atas modal yang berasal dari kegiatan usaha.
Manajemen
laba (earnings management) merupakan
tindakan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan untuk mempengaruhi
tingkat laba yang ditampilkan. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan
pihak tertentu, walaupun dalam jangka panjang (laba kumulatif) tidak terdapat
perbedaan laba yang dapat diidentifikasi sebagai suatu keuntungan (Fischer dan
Rosenzweig, 1995, dalam Agnina, 2004). Hal ini berarti bahwa manajemen laba
mencangkup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba termasuk
perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen. Lalu berdasarkan definisi maka
kesimpulan mengenai manajemen laba adalah usaha yang dilakukan manajemen dalam
penyajian laporan keuangan untuk mengubah angka akuntansi perusahaan dengan
menaikkan atau menurunkan laba perusahaan, baik untuk kepentingan individu
maupun perusahaan
2.1.8 Ukuran Perusahaan
Variabel yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan pengungkapan tanggung
jawab sosial adalah ukuran perusahaan itu sendiri. Ukuran perusahaan (firm size) digunakan sebagai variabel
independen terakhir yang mempengaruhi dividen. Perusahaan yang memiliki ukuran
besar akan lebih mudah memasuki pasar modal sehingga dengan kesempatan ini
perusahaan membayar dividen besar kepada pemegang saham. (Chang dan Reel 990)
tujuan pembayaran dividen besar ini untuk menjaga reputasi perusahaan dimata
investor potensial maupun aktual. Sebaliknya pada perusahaan memiliki aset
rendah akan membagi dividen yang rendah. Logika ini dikarenakan profit
dialokasikan pada laba ditahan yang digunakan untuk menambah aset. Berdasarkan
alasan ini perusahaan cenderung membayar dividen yang rendah. Proksi ukuran
perusahaan dapat menggunakan natural log total asset (Chrutchley dan Hansen
1989)
2.1.9 Asimetri Informasi
Menurut
Martono dan Agus (2008) dalam Faramita (2011) asimetri informasi, yaitu kondisi
dimana salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak
atau lebih baik dibanding pihak lainnya. Najahningrum (2013) menyatakan bahwa
apabila terjadi kesenjangan informasi antara pihak pengguna dan pihak
pengelola, maka akan membuka peluang bagi pihak pengelola dana untuk melakukan
kecurangan. Demikian pula, bila terjadi asimetri informasi, agen bisa membuat
bias atau memanipulasi laporan keuangan sehingga dapat memperbaiki kompensasi
dan reputasinya, serta rasiorasio keuangan.
Selain faktor asimetri informasi, faktor lain yang dapat memicu terjadinya
kecurangan adalah implementasi good
governance. Forum For Corporate Governance In Indonesia (FCGI) mendefinisikan Good Governance sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan
hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan
serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan
hak – hak dan kewajiban mereka, atau dapat dikatakan sebagai suatu sitem yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan (Ratnayani, 2014).
Hal ini dapat terjadi karena adanya pemisahan
kepimilikan dan pengendalian terhadap perusahaan. Pemilik dan kreditor tidak
mungkin dapat secara langsung mengamati berjalannya transaksi perusahaan.
Kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh
pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan
tindakan diluar
0 komentar:
Posting Komentar