PENGERTIAN PERIKATAN
(PERJANJIAN)
Perkataan “perikatan “ (verbintenis) mempunyai arti
mempunyai arti yang luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur
juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu
persetuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan
yang melanggar hukum dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan
kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan.
Perikatan ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan
harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut
barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu. Suatu perjanjian
juga dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan yang mengikat 2 orang atau
mungkin lebih mengenai suatu urusan. Namun untuk sesuatu yang bisa dibilang
serius dan tidak ingin menimbulkan sengketa(masalah) dikemudian, baiknya surat
perjanjian dibuat secara tulisan. Pengertian surat perjanjian adalah surat kesepakatan mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang saling mengikatkan diri untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian bisa di lakukan oleh antar Negara, antara 2
perusahaan di Negara berbeda, dua perusahaan di dalam satu Negara. Pribadi
dengan pibadi juga sering melakukan perjanjian akan banyak hal. Sebenarnya
dalam tatanan yang sangat sederhana pun kita sering melakukan perjanjian.
Seperti kita pinjam uang 100 ribu rupiah kepada temanpun sudah bisa di
kategorikan sebagai perjanjian.
Memang benar dalam kasus meminjam uang seratus puluh ribu
tadi tidak di buat surat perjanjian hitam di atas putih tapi kata yang terucap
dari dua orang sahabat tadi di mana menyebutkan berapa jumlah uang yang di
pinjam dan kapan uang akan di kembalikan merupakan sebuath contoh perjanjian di
mana kedua belah pihak harus saling memenuhi apa yang telah di janjikan. Di
sini dapat di artikan bahwa perjanjian yang di ucapkan dan tanpa bentuk
tertulispun di anggap penjanjian yang sah.
SYARAT SYAH TIDAKNYA SUATU SURAT PENJANJIAN
Di dalam undang undang hukum perdata di sebutkan bahwa suatu
perjanjian di anggap sah bila memenuhi empat unsure. Empat unsure yang membuat
suatu perjanjian itu sah atau tidak adalah sebagai berikut.
a. Agreement: terjadinya kesepakatan untuk
mengikat diri.
b. Capacity: adalah kecakapan dari semua fihak
untuk membuat suatu perjanjian.
c. Certein of term: adanya ketentuan dari
suatu perjanjian.
d. Legality: hal hal yang di perjanjikan
tidaklah melanggar hukum dan halal.
MACAM – MACAM PERIKATAN
A. Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu
kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama
untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir apabila kejadian
yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian demikian, menggantungkan adanya suatu
perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan.
B. PERIKATAN YANG DIGANTUNGKAN PADA SUATU
KETETAPAN WAKTU (TIJDSBEPALING)
Perbedaan antara suatu syarat dengan ketetapan waktu adalah yang
pertama
berupa suatu kejadian atau
peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua
adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat
ditentukan kapan datangnya.
Contoh-contoh
suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu, banyak sekali
dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih
suatu waktu setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.
C.
PERIKATAN YANG MEMBOLEHKAN MEMILIH
(ALTERNATIEF).
Ini adalah
suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan
kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh
memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta
rupiah.
D.
PERIKATAN TANGGUNG-MENANGGUNG (HOOFDEUJK ATAU
SOUDAIR).
Suatu perikatan
di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan
dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama
berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang
belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.
Beberapa
orang yang bersama-sama menghadapi satu orang berpiutang atau penagih hutang,
masing-masing dapat oituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah
satu merabayar, maka pembayaran ini juga membebaskan
semua teman-teman yang berhutang. Itulah yang dimaksudkan suatu perikatan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua
orang A dan B secara tanggung-menanggung
berhutang Rp. 100.000,- kepada C, maka A dan B masing-masing dapat
dituntut membayar Rp. 100.000,-.
Memang dari sudut si berpiutang, perikatan semacam ini
telah diciptakan untuk menjamin piutangnya, karena jika satu orang tidak suka
atau tidak mampu membayar hutangnya, ia selalu dapat meminta pembayaran dari yang
lainnya.Perikatan tanggung-menanggung,
lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Bagaimana juga, perikatan
semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam,
ia selalu harus diperjanjikan dengan tegas (uitdrukkelijk). Tetapi ada kalanya juga
perikatan tanggung-menanggung itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya
dalam B.W. mengenai beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang,
mengenai satu orang menerima penyuruhan (lastgeving) dari beberapa orang. Dalam
W.V.K., mengenai suatu perseroan firma, di mana menurut undang-undang
masing-masing pesero bertanggung jawab sepenuhnya untuk seluruh hutang firma, atau
mengenai suatu wesel, di mana semua orang yang secara berturut-turut telah mengendosirnya,
masing-masing menanggung pembayaran hutang wesel itu untuk seluruhnya,
jika penagihan kepada si berhutang menemui kegagalan.
E. PERIKATAN
YANG DAPAT DIBAGI DAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI.
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada
kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari
kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian.
Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka,
jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang
lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan
ia digantikan dalam segala
hak-haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
Pada asasnya - jika tidak diperjanjikan lain - antara
pihak-pihak yang semula suatu perikatan, tidak boleh dibagi-bagi, sebab si
berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia
menerima baik suatu pembayaran
sebagian demi sebagian.
F.
PERIKATAN DENGAN PENETAPAN HUKUMAN (STRAFBEDING).
Untuk
mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya,
dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu
hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai
perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak
menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang
tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula
sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
Hakim
mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman, apabila perjanjian telah
sebahagian dipenuhi.
SAAT DAN LAHIRNYA
PERJANJIAN
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan
pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak
mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah
suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang
lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi
secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah
dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan,
harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya
sepakat itu.
Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh
tentang adanya suatu persesuain kehendak antara kedua belah pihak. Apabila
kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah dilahirkan suatu perjanjian. Dalam
suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak itu berjumpa atau hadir sendiri
dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu
masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipertahankan
lagi. Sejak orang memakai surat menyurat dan telegram (kawat) dalam menyelenggarakan
urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat bahwa untuk tercapainya suatu
perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa ditinggalkan. Sebab,
sudah sering terjadi, bahwa apa yang ditulis dalam surat, atau yang diberitahukan
lewat telegram, karena sesuatu kesalahan, berlainan atau berbeda dari apa yang
dikehendaki oleh orang yang menggunakan surat menyurat atau telegram tadi. Berhubungan dengan
kesulitan-kesulitan yang timbul itu, orang mulai mengalihkan
perhatiannya pada apa yang dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi kehendak, tetapi apa
yang dinyatakan oleh seorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai
sebagai pegangan untuk orang lain. Jadi, apabila ada suatu perselisihan antara
apa yang dinyatakan oleh suatu pihak, maka pernyataan itulah yang menentukan.
Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah
tercapai apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain.
Dalam menerima atau menangkap suatu pernyataan diperlukan suatu pengetahuan
tentang istilah-istilah yang lazim dipakai dalam sesuatu kalangan, di suatu
tempat dan pada suatu waktu tertentu. Suatu contoh: kalau sekarang (dalam tahun 1963)
seorang menawarkan mobilnya dengan menyebut harga "satu setengah'"
maka setiap orang harus mengerti bahwa yang dimaksudkan itu adalah satu setengah juta dan
bukannya satu setengah ribu. Suatu pernyataan yang dikeluarkan (diucapkan) secara
bersenda gurau tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar bagi suatu perjanjian.
Lagi pula, apabila suatu pernyataan nyata-nyata atau mungkin sekali keliru,
juga tidak boleh kita memegangnya bagi pembentukan suatu sepakat yang kita jadikan
sebagai dasar bagi suatau perjanjian yang mengikat. Misalnya, si pemilik mobil
tersebut di atas memasang suatu iklan dan disitu secara keliru ditulisakn satu setengah
ribu (yang dimaksudkan satu setengah juta). Setiap orang yang berpikiran sehat
harus mengerti bahwa dalam iklan tersebut tentu ada suatu kekeliruan atau orang yang
memasang iklan tersebut adalah orang yang tidak sehat pikirannya. Bagaimanapun,
pernyataan yang dipasang dalam iklan tadi menimbulkan kesangsian tentang
kebenarannya. Teranglah bahwa kita tidak boleh menerima penawaran tersebut dan
berdasarkan jual beli yang telah tercipta menuntut penyerahan mobil tersebut dengan
pembayaran harga yang ditulis dalam iklan itu. Tetapi, seandainya ditulis satu
seperempat juta, maka iklan tadi tidak akan menimbulkan kesangsian. Mungkin para pembaca
iklan menganggap
harga itu agak murah, tetapi belum termasuk hal yang aneh.
PELAKSANAAN SUATU
PERJANJIAN
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain,
atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik
macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu,
perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1. perjanjian untuk memberikan
menyerahkan suatu barang.
2. perjanjian untuk berbuat sesuatu.
3. perjanjian untuk tidak berbuat
sesuatu.
PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam
syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila
suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi
hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak
ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang
bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu
perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak
yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar-hukumnya tidak
ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada
suatu perjanjian atau perikatan.
Apabila,
pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif,
maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum,
tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak
ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orangtua atau
wali nya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang
memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Tentang
perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan
bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang
apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika
dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa
perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum
atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim.
Dari sudut keamanan dan ketertiban jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti
itu harus dicegah. Tentang perjanjian yang ada kekurangannya
mengenai syarat-syarat subyektifnya yang tersinggung adalah kepentingan
seseorang, yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya,
Misalnya, seorang yang oleh Undang-Undang dipandang sebagai tidak cakap,
mungkin sekali sanggup memikul tanggung-jawab sepenuhnya terhadap perjanjian
yang telah dibuatnya. Atau, seorang yang telah memberikan persetujuannya karena
khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum.
Juga adanya kekurangan mengenai syarat subyektif itu tidak begitu saja dapat
diketahui oleh hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan
apabila dimajukan pada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan,
sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena
itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subyektif, oleh
Undang-Undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki
pembatalan perjanjiannya atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu,
bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembaialan.
Persetujuan
kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas.
Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas,
yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah
pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan atau phisik.
Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui
suatu perjanjian. Jadi kalau, seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa
menulis tanda tangan di bawah surat perjanjian, maka itu bukanlah paksaan dalam
arti yang dibicarakan, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan
perjanjian yang telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan
ini tidak memberikan persetujuannya sedangkan yang dipersoalkan disini adalah
orang yang memberikan persetujuan (perijinan), tetapi secara tidak bebas, sepertinya
seorang yang memberikan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman
misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui
suatu perjanjian. Yang diancam itu harus suatu perbuatan yang terlarang, kalau
yang diancam itu suatu tindakan yang memang diijinkan oleh undang-undang
misalnya ancaman akan digugat di muka hakim, akan tidak dapat dikatakan tentang
suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai sebagai mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan
oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan penipuan yang hanya dapat dilakukan
oleh pihak lawan.
SUMBER: